Google+ Wortel Kiwi

Wednesday, September 18, 2013

Menyelami Harmonisasi Alam, Budaya, dan Kearifan Lokal di Bromo

Siapa yang belum pernah mendengar tentang Gunung Bromo dan Suku Tengger? Umumnya, sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kita sudah diperkenalkan pada keindahan alam dan suku yang berdiam disana. Secara administratif Gunung Bromo terletak di Propinsi Jawa Timur, dan berbatasan dengan 4 kabupaten yang sekaligus menjadi pintu masuk menuju kawasannya, yaitu: Malang, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo. Setiap pintu masuk menawarkan keunikannya masing–masing. Dan, di antara yang empat, jalur Probolinggo dan Pasuruanlah yang sering dipilih para wisatawan ketika berkunjung ke Bromo. Alasannya, selain mudahnya angkutan umum, jalur ini juga memiliki akses jalan yang memadai—lebih cepat dan aman.
Wilayah berbukit dengan tebing-tebing curam inilah yang kemudian membentuk Kaldera Tengger—sebagai daya tarik utamanya. Berada di ketinggian 1000 – 2770 mdpl menjadikan kawasan Bromo dan sekitarnya memiliki suhu udara yang cukup bervariasi dari 50C -  220C, dengan suhu udara yang akan semakin menggigit ketika menjelang tengah malam. Saya dan teman – teman yang terbiasa tinggal di Malang pun merasa kedinginan sampai mengigil ketika menginap di daerah Cemoro Lawang.

Peta Gunung Bromo
Sumber :http://dispobpar-kotaprobolinggo.com/
Menapaki beberapa sudut kawasan Bromo akan mempertemukan kita pada atraksi yang berbeda. Tidak hanya alam dengan keindahan lansekapnya, tetapi juga budaya dan tradisi masyarakat Tengger yang tetap terjaga. Banyak tempat menarik yang bisa didatangi, bentang alam yang fotogenic untuk dipotret, keunikan tradisi dan adat istiadat masyarakatnya yang menanti untuk dikenali. Perpaduan ini memberikan pengalaman yang berbeda pada kita. Cukuplah hal – hal tersebut menjadi alasan untuk memasukkan Bromo kedalam daftar “Tempat yang Wajib Dikunjungi di Indonesia”.
100_0491
Lansekap Kaldera Tengger dari Puncak Gunung Bromo *
Menapaki Keindahan Lansekap Bromo
Gunung Bromo, satu-satunya gunung berapi aktif di Kaldera Tengger adalah destinasi utama kawasan ini. Memiliki ketinggian 2.392 mdpl menjadikan puncaknya mudah dicapai. Keberadaan anak tangga pada lereng gunungnya sangat membantu kami. Saya dan beberapa teman pernah mencoba menghitung jumlah tangga tersebut. Menariknya, tak satupun angka yang kami dapatkan sama. Menapaki setiap anak tangganya, membuat stok oksigen dalam paru-paru kami terasa menipis. Kaki yang lelah, tak mau kalah meminta jatah. Kami harus berhenti beberapa kali mengumpulkan energi agar bisa mendaki lagi.
DSC_0166
Kawah Bromo ***
Sementara yang lain berbondong-bondong menanti terbitnya matahari dari Bukit Penanjakan, kami justru memilih Gunung Bromo sebagai tujuan. Jalan desa yang kami lalui pada pukul 3 pagi begitu sepi. Belum ada tanda-tanda kehidupan yang berdetak disana. Sampai di lautan pasir, pagi masih sangat gelap. Tak satupun kendaraan yang lalu-lalang. Sesekali, warga Tengger menawarkan kuda mereka untuk kami sewa. Namun apa daya, dana yang terbatas membuat kami harus menolak tawaran mereka.
100_0526
di kaki Gunung Bromo, terlihat Bromo masih sepi *
Gunung Bromo bersanding manis dengan lautan pasir, si lantai kaldera yang memiliki luas 5.920 hektar.  Pernah dijadikan sebagai lokasi syuting salah satu film Indonesia, lautan pasir kini juga dikenal dengan nama Pasir Berbisik. Kami datang terlalu pagi saat itu karena ingin mengejar matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kabut masih menutup sebagian lantai kaldera dan pasir pun masih basah sehingga kami tidak menemui pemandangan pasir–pasir yang diterbangkan angin dan mendengarnya berbisik di telinga kami.
100_0492
Lautan pasir kala pagi *
Nun jauh di sisi selatan, terdapat Lembah Jemplang yang terkenal dengan savana dan Bukit Teletubbiesnya. Hijau ilalang yang tumbuh subur di tempat ini, akan terlihat kontras bila dibandingkan dengan lautan pasir yang gersang. Vegetasi yang didominasi oleh rerumputan khas savana kawasan tropis ini akan berubah kuning seiring musim kering. Karena jaraknya yang terlampau jauh dari jalur yang kami tempuh, lembah ini terpaksa tidak masuk dalamitinerary.
Memotret Lukisan alam di Penanjakan
Kurang afdol rasanya datang ke Gunung Bromo tanpa mampir ke Bukit Penanjakan. Salah satu lokasi terbaik untuk menikmati matahari terbit yang juga dikenal dengan julukan “The Famous Sunrise.” Lokasi ini tidak hanya menarik dinikmati saat menjelang fajar tetapi juga sepanjang siang sampai matahari tenggelam. Dari sini kita bisa menyaksikan Kaldera Bromo yang sangat fotogenic. Jadi, jangan heran bila kemudian Bukit Penanjakan sering disasar para pemburu fajar dan pecinta fotografi.
Jarak tempuh dari Cemoro Lawang ke Bukit Penanjakan yang relatif jauh memaksa kami beberapa kali beristirahat untuk memulihkan tenaga. Posisi matahari yang telah meninggi, menyisakan gardu pandang yang begitu sepi ketika kami sampai di tempat ini. Walaupun tidak bisa menikmati “The Famous Sunrise”, tetapi pesona alam yang terhampar di hadapan mata kami mampu membuat berdecak kagum, melupakan sejenak pegal-pegal di kaki dan perut yang minta diisi.
15167_1284366355578_7222835_n
Wajah-wajah kepayahan saat mendaki Penanjakan *
Mengenal Suku Tengger Lebih Dekat
Traveling tidak melulu soal itinerary dan destinasi. Ia akan terasa lebih bernyawa manakala terjadi interaksi di dalamnya. Dan, penduduk lokallah yang membuat pengalaman kita menjadi kaya. Mereka membantu kita untuk tahu lebih banyak tentang daerah, keunikan, budaya, serta kehidupan yang ada disana. Disinilah esensi sebuah perjalanan tercipta.
Bromo dan Tengger adalah dua entitas berbeda yang saling berkaitan dan tak bisa dipisahkan. Dengan mengenal masyarakat Tengger, secara tidak langsung, kita juga ikut mempelajari lingkungan yang menjadikan mereka ada. Menurut legenda, istilah Tengger berasal dari penggabungan dua buah nama leluhur mereka, yaitu; Roro Anteng dan Joko Seger. Dari hasil pernikahan Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dengan Joko Seger (putra seorang Brahmana) inilah lahir keturunan-keturunan mereka, yang saat ini kta kenal sebagai Suku Tengger.
Orang–orang asli Suku Tengger memiliki struktur wajah yang cukup unik. Tulang pipi yang agak tinggi, kelopak mata cenderung sipit, dan pipi yang bersemu merah ketika bergesekan dengan udara dingin menjadi ciri umum mereka. Pada sebuah obrolan dengan teman, kami membicarakan keunikan struktur wajah Suku Tengger ini. Ternyata struktur wajah mereka ini hampir mirip dengan yang digambarkan patung Gajah Mada di pintu masuk Air Terjun Madakaripura, Probolinggo.
pizap.com13775896723061
Suku Tengger **
Kepercayaan masyarakat Tengger (Hindu-Tengger) tidaklah sama dengan agama Hindu yang ada di Bali. Mereka tidak mengenal sistem kasta dalam sendi kehidupan sosialnya. Sebagaimana Bahasa Jawa-Tengger yang tidak memiliki tingkatan seperti lazimnya Bahasa Jawa yang telah kita kenal lama.
Sama seperti daerah lainnya, suku Tengger pun memiliki pakaian adat. Pakaian ini terdiri dari beskap, celana panjang hitam, kain berwarna kuning yang diselempangkan, dan udeng kepala. Mereka baru akan mengenakannya saat perhelatan acara-acara resmi serta upacara adat. Dalam hal pemakaian udeng sebagai penutup kepala, kaum lelaki Suku Tengger memiliki cara yang berbeda dari udeng yang biasa dipakai di Madura dan Bali.
Tinggal di wilayah bersuhu dingin menjadikan mereka akrab dengan sarung dan penutup kepala dalam kesehariannya. Pemakaian sarung ini tidak hanya berfungsi untuk mengusir hawa dingin, tetapi juga memiliki maknanya masing – masing sesuai dengan cara pemakaiannya. Karenanya cara memakai sarung disana tidaklah sembarangan. Misalnya, jika ingin bertamu dan menggunakan sarung, tidak boleh asal. Karena, jika salah cara memakai, kita bukannya disambut selayaknya tamu tetapi akan dikira datang kesana untuk mengajak jalan-jalan. Jadi, sebelum “salah kostum”, lebih baik kita belajar makna dibalik cara memakai sarung masyarakat Suku Tengger.
Ada 7 cara penggunaan sarung yang biasa dipakai oleh masyarakat Suku Tengger.
  1. Kekaweng. Kain sarung dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Digunakan untuk bekerja dan tidak boleh digunakan untuk bertamu atau melayat.
  2. Sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diatas perut di bawah dada agar tidak mudah terlepas. Cara bersarung ini digunakan ketika bekerja di ladang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar.
  3. Sempetan. Sarungnya pakai sebagaimana umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini digunakan ketika bertamu.
  4. Kekemul.  Disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Cara ini digunakan pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan.
  5. Sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara ini digunakan ketika sedang bepergian.
  6. Kekodong. Ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. Cara ini sering digunakan saat berkumpul saat malam hari.
  7. Sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangannya. Cara ini biasa dipakai oleh kaum muda di Tengger.
100_0576
Cara Bersarung ala Teman Kami *
DSC_0388
Cara Bersarung ala Suku Tengger **
DSC_0344
Cara Bersarung ala Suku Tengger **
Masyarakat Tengger sangat kaya akan tradisi upacara adat. Salah satu yang kita kenal adalah Upacara Kasada (Yadnya Kasada), yang biasanya dilaksanakan saat bulan purnama pada tanggal 14, 15, dan 16 Bulan Kasada (bulan ke-12 menurut penanggalan Tahun Saka). Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur pada sang pencipta atas berkah dan rejeki yang diberikan, serta bentuk penghormatan kepada leluhur mereka, Roro Anteng dan Joko Seger. Yadnya Kasada adalah hari raya kurban bagi orang Tengger, karena pada perayaan inilah masyarakat Suku Tengger mempersembahkan sesaji berupa hasil pertanian dan binatang peliharaan untuk dilemparkan ke kawah Gunung Bromo.
Sebelumnya, sesaji-sesaji tersebut akan didoakan terlebih dahulu di Pura Luhur Poten yang terletak di kaki Gunung Bromo. Baru setelahnya dilarung, dengan melemparnya ke kawah Gunung Bromo. Uniknya, sesaji-sesaji ini boleh diperebutkan oleh warga, maka tak heran bila pada pagi/siang hari menjelang puncak perayaan Kasada, kita akan menjumpai banyak warga yang menggelar tikar atau jaring, di lereng kawah Bromo untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke kawah Bromo.
DSC_0291
Persiapan Menjelang Upacara Kasada **
Jika ingin menyaksikan upacara adat Suku Tengger namun berhalangan hadir saat perayaan Kasada, jangan khawatir! Masyarakat Tengger memiliki banyak upacara adat yang biasa diselenggarakan pada bulan – bulan lainnya.
  • Pujan Karo (Bulan Karo). Merupakan hari raya masyarakat tengger dimana hari tersebut masyarakat menyambutnya dengan mengenakan pakaian baru, perabotan baru, serta adanya makanan dan minuman yang berlimpah disana. Saat itulah masyarakat Suku Tengger saling bersilaturahim, dan para tamu wajib menikmati hidangan yang disajikan oleh tuan rumah.
  • Pujan Kapat (Bulan Keempat). Upacara ini dilakukan pada bulan keempat menurut penanggalan Tahun Saka. Upacara ini dilakukan pada setiap desa dan dihadiri para sesepuh dan masyarakat desa yang dimaksudkan untuk memohon berkah keselamatan.
  • Pujan Kapitu (Bulan Tujuh). Pada perayaan ini para sesepuh dan dukun melakukan tapa brata yang diawali dengan nyepi satu malam (tanpa makan dan tidur). Selanjutnya diisi dengan puasa mutih selama satu bulan. Pada bulan ini, masyarakat Tengger tidak diperbolehkan memiliki hajat.
  • Pujan Kawolu (Bulan Delapan). Pujan Kawolu ini dimaksudkan sebagai penutupan megeng. Masyarakat memberikan sesaji ke kepala desa dan perayaannya dilakukan bersama di rumah kepala desa.
  • Pujan Kasanga (Bulan Sembilan). Perayaan ini dilakukan pada bulan kesembilan setelah purnama Saka. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan masyarakat Tengger. Pada perayaannya masyarakat bersama anak – anak berkeliling desa membawa alat kesenian dan obor.
Selain upacara tahunan, masyarakat Tengger juga memiliki upacara 5 tahunan, yang bernama “Unan-unan.” Tujuan diadakannya upacara ini, selain untuk menghormati alam semesta, juga menghindari malapetaka. Sesaji yang mereka persembahkan biasanya adalah kepala kerbau dengan udo rampe 100 tumpeng yang dibungkus Daun Tlotok, dan dilengkapi dengan beragam hasil bumi, kemudian diarak ke sanggar pamujan.
Dalam kesehariannya, Suku Tengger sangat dekat dengan alam. Mereka memiliki kesadaran untuk menjaga kehidupan yang bisa bersinergi dengan alam. Beragamnya upacara adat Suku Tengger ini menunjukkan kepatuhan pada hukum adat serta kedekatan mereka dengan alam dan sang pencipta.
Belajar Tentang Kearifan Lokal dari Suku Tengger
Masyarakat Tengger sangat patuh pada hukum adat yang telah berlaku secara turun-temurun—mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sinergi alam-manusia yang ditampilkan dalam kehidupannya cukup istimewa di mata saya. Mereka selalu menyesuaikan diri dengan alam karena sadar  jika kondisi alam rusak dan terganggu, itu akan berpengaruh juga pada kehidupan mereka.
Contoh kearifan lokal yang paling sederhana adalah, filosofi “tebang satu, tanam dua” yang masih mereka jaga hingga saat ini. Jadi ketika mereka menebang satu pohon maka mereka juga harus menanam dua pohon sejenis sehingga mata air bisa tetap terjaga dan alam tidak rusak. Tidak heran, jika hutan-hutan yang ada di wilayah ini terjaga kelestariannya.
Ah! seandainya saja segenap elemen bangsa ini memiliki persepsi yang sama
:)
Semakin meningkatnya minat pada dunia traveling berdampak pada makin terkenalnya kawasan Bromo. Banyaknya pengunjung yang datang, tidak hanya memberikan pengaruh pada lingkungan tetapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat Tengger tidak lagi sepenuhnya bergantung pada alam karena mereka bisa mengembangkan usahanya dengan menyewakan kendaraan roda empat, kuda ternak, berjualan souvenir, membuka usaha kuliner, sampai menyulap rumah tempat tinggalnya menjadi penginapan.  Disaat yang sama, muncul pandangan-pandangan skeptik bahwa kondisi ini akan menjadi bumerang bagi masyarakat Tengger. Bisa jadi pesatnya sektor ini berpengaruh negatif bagi mereka dan lingkungan. Namun saya yakin, selama hukum adat dan kearifan lokal tetap dipatuhi, keharmonisan yang ada sekarang tetap terjaga dan perkembangan sektor pariwisata akan membawa dampak positif bagi kehidupan mereka.
************
Sumber foto :
* Koleksi Kelas Plano’01
** @Rismau_
*** @Chiemay_acc
Referensi :
Jurnal Penelitian PWK – UB :  Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan, oleh : Dianing Primanita Ayuninggar
Laporan Penelitian : “TRADISI UPACARA KASADA -BROMO-PROBOLINGGO”. Oleh : Dina indrawasih
Gunung Bromo, http://id.wikipedia.org

Tuesday, July 16, 2013

Unforgettable Mount Ruapehu

The journey of some Wortel Kiwi members to Mt. Ruapehu with our special guest from Malang - Indonesia: Donny Harry's family. The plan was made in only 3 days before we actually implemented it. 'Twas a really wonderful journey, since none of us was actually been to a snowy mountain. Unforgettable moment for us, we might consider to go there again with the complete members, hopefully (of course with better plan and preparation). Travelling while capturing moments is the best thing in every single trip.

It was already 3pm and rainy quite heavily and also the Metrolink bus nuisance was so troublesome. Yeah, we had a plan to Mt. Ruapehu along with my best friend who just came from Indonesia with his family. Donny is the name of my friend; Ayik and Reno are his wife and son respectively. That afternoon we went to Onehunga by train to collect Reno’s Kathmandu jacket that left behind on the 277 bus the night prior to accident. I was so amazed by the reality that the NZ bus officers still kept it and no one on the bus deliberately took it.

No car, no plan, and no preparation whatsoever and it had already been 4pm. Thankfully Wahyel, a lady from Padang, with aid from her boss, got a rent car. A big and strong one: Toyota Prado, haha. Then we headed back to Liz’s house to prepare ourselves for the trip. We didn't just prepare some warm clothing, but also food, especially chips and fried noodle for Reno (in case he’s gonna cry in the middle of the trip; that was Wahyel’s idea, which was really genius). It was already 8pm yet we haven’t been ready. Oh well, typical Indonesian (just joking XD). Then we have quite late dinner in KFC. ‘Twas really nice though. After finishing our dinner, I got to call the Taumarunui Holiday Parks as we need an accommodation for a night before hiking to Mt. Ruapehu the next morning.

the view from our accommodation

a countryside on the way to Mt. Ruapehu

Mount Ruapehu

We have imagined that it will be really cold down there, since it’s 4,5 hours driving down the North Island. Well, we were wrong, especially me (Irna). We have prepared the worst like really warm clothes, parka and wool socks. It turned to be quite warm, we even could walk around the holiday park in the middle of the night with only a layer of shirt and a jacket (as same as in Auckland).

The vacation was nice, we only needed to change the driver once (from Wahyel to me). However, there were some occasions that made our vacation a bit not good. We feel really sorry for Donny for sitting at the back of the car along the way, which was uncomfortable, since the seats at the back were really packed. That’s why we needed to stop a while for resting and smoking in the middle of nowhere, really dark in the forest. Luckily there were 2 trucks (the ones that looked like Optimus Prime in Transformers) that accompanied us. Irna was a bit scared since she’s the one that does not really like darkness. Back to the trucks, Wahyel and Ayik were really excited to take picture with one of those. Once again I (Irna) feel really sorry for I’m not used to use a Nikon camera in taking photographs. It turned to be defocused.

After done stretching and so, we continued our journey to the holiday parks. Again, we were unfortunate for the map showed us that the holiday parks is around state highway 4, right where we stopped the car, but we couldn’t see any existence of it. Worse, we didn’t have any internet connection back then. Then we made 2 calls to the owner of the accommodation. Unluckily, he had no idea where we were. He thought that we were not in the town yet, then he guided us to continue driving until we reach the city centre. Later we called him again straight away after we reached the town. Then he told us to go straight the road until about 800 m out of the central after crossing a big bridge, the destination was on the right. Lucky we got there. I straight away met the owner to pay and took the key. The room was nice and warm really. We really loved the room, nice facilities too.

After had a chat for a while (narcism picture-taking session too), we went to bed (not literally me (Irna); she still needed to read the map of the North Island as well as find tourist attractions around Mt. Ruapehu). Well, she couldn’t sleep well. She slept really late (even after Mas Andi snored, LOL!) yet she woke up very early in the morning. She woke other people up after she finished taking a shower. We planned to head to Mt. Ruapehu around 7 am in the morning. Well, as we have predicted, we went there at 8.30 am. Again, we got lost in the middle of the journey even Irna has asked the way to get there to the owner of the holiday parks, when she returned the key of the room. We should turn right but we went straight, which made us turned back until we reached another city centre. We then thought to visit the i-Site to ask the information how to get to Mt Ruapehu ski field. Afterwards, we went there directly. Good for us that all ski routes were open. Furthermore, the weather was really nice and warm (yet very bright).

guess what? it's Mordor..Mt. Tongariro~

trying to catch the clouds?just don't jump =D

sitting on a rock with such a grateful view, how amazing Don! 

Tik..tok..tik..tok..minutes before we finally saw the snowy mountain. We even made a video during the journey. We all praised our God after seeing an amazing scene of the mountain, we really thank God for the wonderful scenery. We all finally saw snow (literally ice). Then we stopped over a while for photo session (narcism too, LOL!). Then we continued to go to the parking lot in the foot of Mt. Ruapehu. Another photo hunting is a must! Then we got back to routine: a cup of coffee and hot chips.

Ayik, Reno and Wahyel were walking to the café before us (as you know that we are the photo freaks, it took a while for us stopping over a place for hunting; we just love capturing moments). We finally met each other in the café. We then noticed that Ayik, Reno and Wahyel have been on the gondola, flying around the ski field (which was so scary for me!!). After filling our tummies with heaps of chips, Reno was crying for hopping on the gondola again. At that time, Ayik was quite fatigue to hop on the gondola again. As a result, she asked me to accompany Reno to catch the gondola, which in turn……Irna was pushed to hop on as well. Oh please, she told that she’s sick of height..hello, she’s totally scared and she doesn’t want to hop on there, which was really funny. Well, I kept pushing her. Finally she took it as a practice: how to train her fear (as I said).

To be honest, she was really scared when the gondola reached a certain height up the mountain. There was no wind, but it felt really dry that made her eyes watery (I took it as she was crying of scared, in fact she was not. She said honestly that she was not crying). Well, her hands were shaking, totally shaking. This made me laughing very loudly, very very loudly. It seemed that I was really satisfied of watching such a funny scene of Irna being scared and looked like she was crying of fear. Right after finishing the gondola journey, she ran away to the table and sat there quietly (looked really scared), whilst I was laughing happily, evil laugh (Irna might hate me so much!!!). Then we waited for Wahyel who played snowboard there before we went home.

a good field to train your fear (fear of height)

On the way home, we passed Lake Taupo, which was truly stunning in terms of vista and coziness. Along the road we passed, you can enjoy lake view that I deem as one of other places must be seen before we die. Unfortunately, I got stomachache when our journey got to this beautiful spot. This ruined the enjoyment to completely get a thrill out of the view. Taking rest along with refuel adjoining Lake Taupo was what we did before continuing the journey back home via Tauranga.

Accompanied only by GPS and courage, it was a bold decision, because we didn’t even expect that Lake Taupo – Tauranga would be a long winding road. Otherwise, it was a great escapade since it compensated with the changeless view and experience along the road. Irna’s dizziness when we arrived in Tauranga was the evidence the character of road we encountered. Tauranga’s Lamb Kebab slightly wiped our fatigue off, the most delicate and tastiest lamb kebab I ever tasted.

This journey taught me one essential thing that life is wondrous more than you realize if you are surrounded with beautiful people and feelings of gratitude.

Our moments:

Wortel Kiwi..rock on!-KFC, Auckland

a nice room, Kiwi Lodge

bad faces..duck faces..chicken butt faces..which one do you prefer?

beyond those glasses

narcism in action!


Monday, June 24, 2013

It was my beautiful sunny windy cold and happy Sunday yesterday :)

Yesterday morning..I was laying down in my bed. I woke up around 10 AM..I think :p At first I really don't have a plan what to do. Because the weather nowadays in new zealand only made us lazy and didn't want to get out of our comfort and warm zone..which is the room :) And then, I heard somebody knocking at my door. I wonder who might knock at my door that morning. So..I jump out of my bed and open the door. And when I opened the door..I was surprised. There they were in front of my door my family from North Cote (+Steve B. Sulistyo) + 1..Selamat Resky..hahaha With a big smile he said "Good morning Andi.." I was pleased to know that they were visiting me. I mean +Steve B. Sulistyo and family. But for Selamat Resky..not really pleased. Because he often visit me here..hahahahaha..kidding bro :p 
We chit chat for a while and then they asked me to join them to wandering around the Auckland city. And I reckonized that yesterday was my little brother last Sunday in Aotearoa. So I decided to join them. After a short shower and prepare tea to take away, we off to One Three Hill. On the way to go there I remember that +Octaf Afin and +Wahyel Iffah told me before that they were planning to go to tante Linda for lunch. And by recalling the taste of the chicken and the spicy tomato chilli suddenly it makes me hungry :) So, I asked them to wait for us there. After 20 minutes of driving we arrived at the checkpoint 840 Dominion Road and then started to eat. I was really happy to sit with them and eat together. It made me missed my family back there at our homeland. I am so thankful that God sent a new family for me in my life journey at New Zealand. But to tell you the truth..I do have a lot of new family here. I am grateful for that. Too bad the other member of the family, +Miftah Zikri+Donny Hary Putra+Reza Hendrawan, +DIAN Rustya+Muhammad Sobarna+Gary Djojo, +Irna Sannyta+Satiti Shakuntala could not join us. Well, honestly we didn't plan to go this far..hahaha Otherwise, it will be more fun time :) Some other time guys ;) 
After we full with those delicious lunch, off we go to One Three Hill. The weather was awesomely chilly and windy yesterday. But we kept moving on. After we reach the summit, we saw the beauty of Auckland landscape and take some photos. And then we learn a few photography tricks there from +Steve B. Sulistyo. It was a good spending time Sunday with them. And also made us sad because we know that yesterday was our last time spending Sunday together with Selamat Resky. Because he will not be here by the end of this month. Going back home to his lovely wife and family for good. Which is good for him..ay bro? ;) 
Well, anyway, we had such fun and great moment together yesterday. It was my HAPPY SUNDAY!!! :) Here are some photos that I took yesterday. My first editing edition with Lightroom. Sorry if the result is not good. Because it is my very first time editing photos. Cheers mate!! (capek bener ya ngetik iseng pake english word. Nggak kebayang deh yg pada S1-S3 disini..semangat ya buat yang pada kuliah disini!)