Sebuah ajakan
dari seorang teman via Twitter untuk bergabung dalam #LasemTrip telah membawa kami
pada petualangan melintasi lorong-lorong sejarah yang tersisa di Lasem. Ya,
kami memilih Lasem yang tergabung dalam wilayah administratif Kabupaten Rembang sebagai
tujuan perjalanan.Siapa sangka sebuah kota kecamatan kecil di pesisir utara
Jawa ternyata telah berdiri sejak lama dan menyimpan sejarah besar di masa lalunya.
Lasem dalam perkembangannya pernah menjadi bagian dalam sejarah panjang
kedatangan leluhur Tionghoa ke tanah air namun jejaknya tak dikenali dan seolah terlindas laju
waktu.
Perkenalan kami
dengan Lasem diawali oleh sambutan hangat Pak Danang dari Fokmas (Forum
Komunikasi Masyarakat Sejarah) dan mas Pop dari Lasem Heritage pada hari
pertama kedatangan saat kami berkumpul di meeting
point. Beliau berdua menceritakan banyak hal dan memberikan gambaran
tentang lokasi-lokasi yang akan kami kunjungi lengkap dengan cerita tentang
sejarahnya.
Cuaca yang panas
serta sinar matahari yang terik tidak menyurutkan semangat kami menapaki dan
menyusuri wilayah-wilayah yang menyimpan sejarah perkembangan Lasem. Banyak bangunan
berusia tuayang tetap mempertahankan bentuk aslinya. Ada bangunan yang masih
terawat dan dipergunakan sampai sekarang, ada juga bangunan yang terbengkalai
begitu saja dan perlahan lapuk termakan usia. Keberadaan bangunan-bangunan
tersebut seolah bercerita tentang bagaimana wilayah itu dulu pernah jaya.
Besarnya
pengaruh Tionghoa pada Lasem ditandai oleh banyaknya bangunan bernuansa khas
Tionghoa yang berusia ratusan tahun dan menyebar di sebagian besar wilayah.
Nuansa pecinan yang dapat dijumpai di wilayah Lasem telah membuat seorang
peneliti eropa jaman kolonial menasbihkan Lasem sebagai “The Little Beijing Old Town”.
Lasem Dari Masa ke Masa
Lasem di masa
lalu merupakan sebuah kerajaan kecil yang memiliki keterikatan erat dengan
kerjaan Majapahit. Kerajaan yang dipimpin oleh Bhre Lasem ini merupakan
kerajaan pendukung Majapahit dan memiliki peranan penting dalam perkembangan
majapahit, khususnya dalam hal perdagangan.
Dalam
perkembangannya Kerajaan Lasem berubah menjadi Kadipaten Lasem dan menjadi
bagian dari Kerajaan Pajang karena adanya ikatan perkawinan. Setelah kerajaan
Pajang runtuh, Kadipaten Lasem berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram dan
dipimpin oleh seorang sunan. Saat inilah pengaruh Islam mulai masuk ke Lasem.
Laksanama Ceng
Ho menginjakkan kaki di tanah Lasem pada abad ke-14 dan ini menjadi titik awal
kejayaan etnis Tionghoa di Lasem. Keberadaan etnis Tionghoaini diketahui dari
munculnya komplek permukiman Tionghoa pertama di desa Galangan. Komplek
permukiman ini terdapat di sepanjang Sungai Lasem, dimana saat itu daerah di
sekitar sungai dan laut merupakan kawasan yang memegang peranan penting dalam
hal perdagangan dan transportasi.
Perkembangan etnis Thionghoa di Lasem juga dipengaruhi oleh peristiwa pembantaian etnis Tionghoa secara besar-besaran di Batavia pada abad ke – 17 karena adanya kepentingan politik VOC yang merasa terancam. Orang-orang Tionghoa pada masa itu memutuskan untuk pindah ke Lasem dan membangun permukiman baru di desa Karang Turi. Peristiwa yang sama kembali terulang di Ngawi pada abad ke-18 karena adanya pertikaian intern antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang akhirnya membuat mereka terdesak dan memutuskan hijrah ke Lasem dan membangun permukiman baru di Desa Babagan.
Perkembangan etnis Thionghoa di Lasem juga dipengaruhi oleh peristiwa pembantaian etnis Tionghoa secara besar-besaran di Batavia pada abad ke – 17 karena adanya kepentingan politik VOC yang merasa terancam. Orang-orang Tionghoa pada masa itu memutuskan untuk pindah ke Lasem dan membangun permukiman baru di desa Karang Turi. Peristiwa yang sama kembali terulang di Ngawi pada abad ke-18 karena adanya pertikaian intern antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang akhirnya membuat mereka terdesak dan memutuskan hijrah ke Lasem dan membangun permukiman baru di Desa Babagan.
Lasem yang
dulunya merupakan kerajaan sekarang menjadi sebuah ibu kota kecamatan di
Kabupaten Rembang. Bangunan kerajaan Lasem sudah berubah fungsi, namun
peninggalan kejayaan etnis Tionghoa masih terjaga sampai sekarang. Adanya
klentheng tertua di Jawa, kampung pecinan, serta bangunan – bangunan tua
berusia ratusan tahun masih berdiri tegak seolah bercerita tentang kejayaannya
dimasa lalu.
Jejak Opium di Rumah
Candu
Lokasi yang
berada di pesisir pantai menjadikan Lasem pernah berjaya sebagai salah satu
kota pelabuhan besar pada masa lalu. Selain kayu, batik, dan garam, Lasem juga
terkenal dengan penyelundupan candu. Ya, Lasem dulu terkenal sebagai kota
bandar Opium terbesar di Indonesia. Opium yang masuk ke Lasem kemudian
didistribusikan ke rumah-rumah penduduk melalui sungai Lasem menggunakan perahu
jukung. Dahulu, setiap rumah (khususnya rumah para saudagar) memiliki akses
untuk penyelundupan Opium. Masing-masing rumah kala itu memiliki sumur yang
terhubung dengan gorong-gorong ke Sungai Lasem. Gorong-gorong jalur candu yang
terdapat di sepanjang Sungai Lasem kini tidak terlacak lagi karena
keberadaannya sudah terkubur oleh sedimen sungai dan tertutup pepohonan.
Lubang Candu |
Siang itu kami
mengunjungi sebuah situs sejarah yang terkenal dengan sebutan Rumah Candu. Pak
Yon yang berkesempatan mendampingi kami menjelaskan sejarah Rumah Candu sambil
mengajak berkeliling menjelajah lingkungan rumah. Tampak luar, bangunan ini
terlihat lebih terawat daripada bangunan sekitarnya. Pintu masuk bercat kuning
cerah dengan ornamen khas Tionghoa menarik rasa penasaran kami tentang apa yang
ada dalam bangunan tersebut.
Rumah Candu yang terdapat di desa Soditan didirikan pada abad ke-18 memiliki luas 5.500 meter persegi ini terdiri dari 2 bangunan.Bagian depan merupakan bangunan utama yang didalamnya terdapat altar untuk sembahyang dan lubang penyelundupan candu yang sekarang berukuran setengah dari ukuran sebenarnya dengan kedalaman1,5 meter yang langsung terhubung dengan Sungai Lasem melalui gorong-gorong. Pada bagian belakangan terdapat bangunan yang dipergunakan sebagai rumah tinggal. Bangunan rumah ini dulu pernah menjadi bangunan termegah di Asia pada masanya.
Hunian dalam Rumah Candu |
Rumah Candu menjadi
salah satu heritage site yang wajib
dikunjungi ketika bertandang ke Lasem dan menjadi satu-satunya rumah yang
mempertahankan keberadaan Lubang Candu (sumur) agar rekam sejarah penyelundungan
Opium di Lasem tetap terjaga.
Melihat Permukiman
Tionghoa dari Dekat
Tidak salah
ketika sebutan Tiongkok Kecil disematkan pada Lasem karena banyak bangunan khas
Tionghoa yang masih terjaga dan keberadaannya berhasil menghadirkan suasana
khas Tiongkok di Lasem. Keunikan bangunan-bangunan ini selain terletak pada
bentuk fisik bangunan juga terdapat pada pintu serta papan penanda yang
sebagian masih bertuliskan huruf Cina. Hal ini jarang kita jumpai di daerah
pecinan yang lain.
Permukiman
Tionghoa pada umumnya dibatasi oleh pagar tinggi yang membuat bangunan utama
tidak terlihat dari luar. Namun di Lasem kami bisa melihat bangunan di balik
pagar dari dekat. Adalah mas Pop dari Lasem Heritage yang mengantar kami
berkunjung ke rumah Opa – Oma yang selalu membuka pintu rumahnya untuk para
pendatang seperti kami. Bangunan rumah Opa – Oma ini sebagian besar masih
berupa kayu baik pada dinding maupun lantainya. Bangunan rumah Opa – Oma ini
merepresentasikan rumah-rumah khas Tionghoa yang memiliki altar pada bangunan
utama dan jika ditelisik pada bagian atas tiang rumah terdapat penyangga yang
membentuk huruf kanji Cina.
Altar Sederhana didalam Bangunan Rumah Opa Oma |
Opa dan Oma
adalah generasi ketiga penghuni rumah sederhana ini dan masih mempertahankan
keaslian bentuk rumah dan ornamen didalamnya. Berada di rumah yang bernuansa
klasik didukung suasana mendung berhasil membuat imajinasi kami melayang pada
medio awal rumah ini dibangun dan membayangkan situasi rumah ini di masa lalu.
Akulturasi Budaya pada
Batik Lasem
Tidaklah lengkap
jalan-jalan tanpa berburu produk lokal untuk dibawa pulang sebagai buah tangan.
Batik Lasem adalah salah satu produk lokal yang menjadi unggulan karena
terkenal dengan keunikan motif serta kekhasan warnanya. Batik Lasem memiliki
sejarah panjang sampai berkembang seperti sekarang. Kedatangan Laksamana Ceng
Ho ke tanah Lasem, penjajahan Belanda, keberadaan kerajaan di Solo dan Yogya
memberikan pengaruh pada perkembangan Batik Lasem.
Yang menjadikan
Batik Lasem ini unik adalah kentalnya pengaruh kebudayaan Tionghoa. Pengaruh
ini selain terlihat pada motif batik
berupa Burung Hong dan bilah pohon bambu juga pada penggunaan warna merah
menyala yang merupakan ciri khas Tionghoa. Pengaruh Belanda dapat dilihat dari
adanya motif buketan serta penggunaan warna-warna cerah pada Batik Lasem.
Pengaruh corak batik Solo dan batik Yogyakarta pada motif parang dan beberapa
motif klasik lainnya serta penggunaan warna-warna sogan.
Proses pembuatan
Batik Lasem rata-rata memerlukan waktu lama karena pengerjaannya dilakukan
secara manual mulai dari proses pencantingan, pencelupan warna, penjemuran, sampai
dengan menjadi kain batik. Lama pengerjaan Batik Lasem bervariasi mulai dari 2
minggu sampai dengan 1 bulan, sesuai kerumitan motif batik dan proses
pewarnaan. Meskipun dalam perkembangannya Batik Lasem banyak mendapat pengaruh
dari luar, tetapi dalam proses pengerjaannya para pengrajin Batik lasem tetap
bertahan menggunakan cara klasik agar Batik Lasem tetap terjaga keunikan dan
kekhasannya.
Berdasarkan jenisnya Batik Lasem dibedakan
menjadi dua, yaitu batik klasik dan batik kontemporer. Batik klasik memiliki
ciri khas pada warna sogan tetapi tidak meninggalkan warna khas Batik Lasem,
yaitu warna merah menyala. Batik Lasem memiliki beberapa motif batik klasik : Gunung
Ringgit, Sekar Jagat, Burung Hong, Parang Rusak, Kendoro Kendiri, dan
lain-lain. Batik kontemporer merupakan batik yang motifnya bersifat dinamis dan
mendapat banyak pengaruh dari luar. Batik kontemporer ini memiliki warna-warna
yang lebih beragam daripada batik klasik. Contoh motif pada batik kontemporer
adalah motif Lerek, Tumpal Clorot, motif siang-malam, motif pagi-sore, dan
beberapa motif lain yang dapat dilihat pada workshop pengrajin.
Membeli Batik
Lasem langsung pada pengrajinnya memberikan pengalaman berbeda karena bisa
melihat secara langsung proses pembuatan batik mulai dari tahap awal sampai
dengan akhir dan bisa mendapat harga yang lebih murah daripada harga toko.
Pusat pengrajin Batik Lasem dapat dijumpai di daerah Babagan, Gedongmulyo, Karangturi,
Soditan, Selopuro dan Sumbergirang.
Tentang Mimpi
Mewujudkan World Heritage City
Napak tilas yang
kami lakukan selama 2 hari telah berhasil membuka mata kami bahwa ada begitu
banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan untuk mewujudkan mimpi Lasem menjadi kota
pusaka (world heritage city). Lasem
dalam kebersahajaan tampilannya ternyata memiliki banyak cerita dan memberikan
pengalaman yang berbeda bagi kami yang
datang menyapanya.
Atmosfer kota
yang klasik, peninggalan pusaka berupa bangunan dan seni budaya selayaknya
mampu mensejajarkan Lasem dengan kota pusaka lainnya didunia. Hanya saja karena
keterbatasan dana dan sumber daya yang ada, Lasem belum tertata dan berdandan
selayaknya kota pusaka lainnya. Lasem masih berupa kota tua dengan ritme
kehidupan yang berjalan pelan, seolah tidak terpengaruh riuhnya jalur pantura.
Mimpi besar
menjadikan Lasem sebagai world heritage
city pertama di Indonesia telah
diawali sejak beberapa tahun yang lalu. Lasem mulai menggeliat dan
membuka dirinya melalui kampanye pelestarian pusaka, internet, menggandeng
tokoh masyarakat setempat, melibatkan pendatang seperti kami dalam diskusi
serta melakukan pendampingan pada akademisi, peneliti, dan penulis yang
melakukan penelitian di Lasem.
Langkah
mewujudkan Lasem sebagai kota pusaka masih akan panjang. Pasti ada rintangannya, numan bukan tak mungkin.
(Artikel ini dimuat di majalah KARTINI No. 2349, Juni 2013)
Tulisan seperti inilah yg kumaksud untuk selalu ada di blog. Tentang apapun, yang memuat nilai keIndonesiaan. Jadi blog ini bisa jadi sarana pengetahuan. Thanks,mBak Dian.
ReplyDeleteSama2 bertrimakasih mas Steve ^_^
ReplyDeleteSaya senang diajak bergabung dsini. Semoga bisa memberi kontribusi yang positif.
Foto2 kalian disini keren2. Jadi ikut semangat belajar fotografi
suukaaaaa banget tulisan ini...ah kapan kau jadi jalan-jalan ke Gresik...aku akan sangat menantikan tulisanmu tentang Gresik...;-)
DeleteMengingatkan tiap perjalanan liburan Satu Bulan penuh pada Bulan Ramadhan SD tahunan saya dari kota Pati ke kota Tuban pada akhir tahun 70 an sampai awal tahun 80 an.Dengan naik bis Indonesia,berhenti sekitar Setengah Jam diTerminal Lama yang terletak didepan Masjid,kemudian dilanjutkan perjalanan melewati Bonang,pemandangan yang sangat menakjubkan,kiri buih dan ombak Laut,kanan Tebing nan menjulang....
ReplyDelete